Beberapa waktu lalu,
kaka Andre Barahamin sempat menimbulkan huru-hara virtual ketika ia mengkritisi
Indonesia Menganjar. Tanpa berniat memanjangkan debat yang sudah berlangsung
itu (kalaupun ini lantas melanjutkan debat itu, saya tidak terlalu peduli; saya
hanya mau terima sanggahan dalam bentuk artikel balasan), saya mau turut dalam
debat itu dengan membahas lebih dalam satu bagian dari artikel itu, yakni
kemiripan antara rombongan pengajar ini dengan misi zending yang mulai bekerja
‘mengadabkan’ orang Mee di Paniai pada tahun 1930an.
***
“Menurut
saya agama punya peranan penting dalam kolonialisme karena agama turut membunuh
secara sosial orang-orang jajahan, alhasil orang-orang yang dijajah lalu
mengalami kematian sosial
(social death)”.
–Joel,
Leiden 2015
Pernyataan di atas
menyediakan titik yang baik untuk memulai pembicaraan tentang peranan misi
dalam penjajahan. Kalau saudara bertanya-tanya bagaimana mungkin ini
berhubungan dengan pendidikan, saudara hanya perlu ingat bahwa di Papua,
misionaris adalah kelompok yang pertama-tama membuka sekolah dan memberikan pendidikan
dasar. Karenanya hubungan antara penyebaran injil dan pendidikan sangat erat.
Bahwa pendidikan yang
disediakan misi ini kemudian dihubungkan dengan kematian sosial (social death)
adalah hal lain. Ketika berbicara tentang kematian sosial, Joel sedang membahas
konsep yang digagas oleh Orlando Patterson dalam bukunya yang terkenal, Slavery and Social
Death. Dalam buku itu Patterson menyatakan bahwa yang membedakan
seorang budak dari hubungan-hubungan tidak bebas lainnya dalam masyarakat
adalah bahwa seorang budak dianggap mati oleh masyarakat tersebut.
Sejauh ini pernyataan
di atas tampak tidak relevan dan mungkin bahkan salah. Patterson sendiri sudah
dikritik berkali-kali karena argumennya dianggap berlebihan. Apa pentingnya
hidup secara sosial, bukankah yang lebih penting adalah hidup secara harafiah?
Tapi saya ingin membela dan melanjutkan argumentasi ini dengan meminjam penafsiran
Claudia Card dan idenya tentang hubungan antara kematian sosial dengan
genosida.
Dalam artikelnya, Genocide and Social
Death, Card berargumen bahwa kematian sosial merupakan bagian dari
genosida. Holocaust terjadi beriringan dengan kematian sosial kaum Yahudi di
Eropa. Kematian sosial ini terjadi bukan karena mereka dianggap mati oleh
masyarakat di sekitarnya, tapi salah satunya karena hal-hal dan
institusi-institusi yang menyokong identitas kaum Yahudi dihancurkan. Hal-hal
yang membuat seorang Yahudi mampu memperformakan ke-Yahudi-annya dihancurkan.
Bahwa identitas kaum Yahudi terus hidup dan masih bertahan di dunia tidak
lantas berarti bahwa kematian sosial itu tidak pernah terjadi. Kematian sosial
hanya mensyaratkan kesulitan individu penyintas Holocaust untuk membangun
kembali hubungan dengan hal-hal yang menjadikan dia seorang Yahudi dulu.
Singkatnya, kematian sosial membunuh sebagian dari diri penderitanya.
Semoga agak jelas
bagaimana ini berhubungan dengan misi pendidikan di (khususnya) pedalaman
Papua. Ketika misi mulai bekerja bersama dengan kaum penjajah di Papua, mereka
menemukan masyarakat yang mereka anggap primitif (baca artikel kaka Els Katmo
yang membahas stigma ini). Dalam sebuah artikel, antropolog Anton Ploeg,
membahas kebiasaan Belanda pada awal abad ke-20, yakni kecenderungan untuk
melihat dan membahas apa yang kurang dalam hidup orang Papua. Karena orang
Papua tidak terdidik, maka orang Papua perlu dididik. Karena orang Papua tidak
sehat, maka orang Papua perlu teknologi kesehatan. Karena orang Papua tidak
berpakaian, maka orang Papua perlu diberi pakaian. Karena orang Papua tidak
beragama maka orang Papua perlu diajarkan untuk beragama. Dan di atas
segalanya, karena orang Papua ‘primitif’, maka orang Papua bodoh. Pendidikan
(dan agama) dipercaya akan memecahkan semua masalah ini.
Sejauh ini semua
mungkin terasa mirip dengan Politik Etis. Tapi ada satu pembeda yang luar biasa
penting, yang membuat masalah orang Papua berbeda dengan orang Melayu; yaitu
kepercayaan bahwa orang Papua primitif. Primitif memang kata yang sederhana
tapi dampaknya luar biasa. Kepercayaan bahwa orang Papua primitif dan bodoh
memampukan misi untuk mengabaikan pendapat orang Papua, karena pendapat orang
bodoh tidak perlu didengar. Tapi secara lebih luas, kepercayaan itu juga
berdampak pada misi pendidikan karena ia kemudian dibayangkan sebagai proses
untuk mencabut budaya yang primitif dan mencangkok dalam orang Papua budaya
yang ‘modern’.
Ikatan-ikatan sosial
orang Papua menyokong identitas orang Papua kemudian dianggap tidak penting,
karena identitas orang Papua sebelum bertemu para pengadab ini adalah
antithesis keberadaban. Misi pendidikan ini kemudian berkontradiksi dengan
identitas sosial orang Papua. Dan karenanya menjadi modern dan mempertahankan
identitas sosial orang Papua menjadi mustahil; seorang Papua modern dididik
dalam sistem pendidikan yang menganggap remeh budaya dan institusi-institusi
yang dulu membantu orang Papua untuk menjadi dirinya.
Tidak Ada Komentar Pada Artikel » Memikirkan Kematian Sosial Sebuah Catatan Dari Obano Paniai
Posting Komentar